Sejarah Kabupaten Pati - Sejarah Selat Muria Yang Memisahkan Pulau Muria dan Pulau Jawa

Sejarah Kabupaten Pati – Sejarah Selat Muria Yang Memisahkan Pulau Muria dan Pulau Jawa

Selat Muria merupakan selat yang pernah ada dan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria. Selat ini dulunya merupakan daerah perdagangan yang ramai, dengan kota-kota perdagangan seperti Demak, Jepara, Pati, dan Juwana. Pada sekitar tahun 1657, endapan sungai yang bermuara di selat ini terbawa ke laut sehingga selat ini semakin dangkal dan menghilang, sehingga Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa.

Selat Muria saat ini termasuk dalam dataran non-struktural utama, yang berarti bahwa diperkirakan pada suatu masa di masa lalu, daerah tersebut merupakan lautan.

Tentang Pulau Muria

Pada saat Selat Muria terdapat sebuah pulau yang bernama Pulau Muria. Bentang alam Pulau Muria sendiri terdiri dari Gunung Muria yang terletak di bagian tengah. Sedangkan di bagian selatan terdapat perbukitan Patiayam yang terbentuk dari aktivitas vulkanik Gunung Muria di masa lampau (beberapa contohnya adalah Maar Bambang, Maar Gunungrowo, dan Maar Gembong).

Catatan paleontologi menyatakan bahwa kawasan perbukitan Patiayam memiliki berbagai fosil kerbau purba (Bos bubalis paleokarbau), banteng (Bos bibos paleosondaicus, keluarga rusa/Cervidae (Cervus zwaani), keluarga babi hutan, gajah, gajah stegodon, kuda nil, harimau, kura-kura dan fosil-fosil moluska.

Di pulau ini juga terdapat ibu kota kabupaten di pesisir utara Jawa, seperti Jepara, Kudus, dan Pati.

Beberapa Daerah Bekas Selat Muria

  • Kecamatan Undaan
  • Kecamatan Mejobo
  • Kecamatan Kaliwungu
  • Kecamatan Jekulo
  • Kabupaten Jepara
  • Kecamatan Mayong
  • Desa Kuanyar
  • Desa Paren
  • Kecamatan Nalumsari
  • Desa Magangan
  • Desa Blimbingrejo
  • Desa Dorang
  • Desa Pringtulis
  • Desa Tunggulpandean
  • Desa Gemiring Lor
  • Dukuh Gemiring Kidul
  • Dukuh Jatisari
  • Kecamatan Welahan
  • Desa Karanganyar
  • Desa Gedangan
  • Desa Ujungpandan
  • Desa Teluk Wetan
  • Desa Kendengsidialit
  • Desa Sidigede
  • Desa Kalipucang
  • Desa Guwosobokerto
  • Kecamatan Donorejo
  • Desa Clering
  • Desa Bandungharjo
  • Kecamatan Keling
  • Desa Bumiharjo

Pelabuhan

Pada masanya di tepian Selat Muria terdapat pelabuhan-pelabuhan perdagangan dengan berbagai komoditas seperti kain tradisional dari Jepara, garam dan terasi dari Juwana, dan beras dari pedalaman Jawa dan Pulau Muria. Selain itu, keberadaan selat tersebut juga menjadikan kawasan Selat Muria sebagai lokasi galangan kapal yang memproduksi kapal-kapal jukung Jawa yang terbuat dari kayu jati yang banyak ditemukan di Pegunungan Kendeng yang terletak di sebelah selatan selat. Keberadaan industri galangan kapal menjadikan daerah ini lebih kaya dibandingkan dengan pusat Kerajaan Majapahit, sehingga daerah ini yang didominasi oleh para pedagang muslim yang dijuluki oleh Tomé Pires (penulis Portugis) sebagai “penguasa kapal jung”.

Pada awalnya, kawasan ini terdiri dari pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitar selat dengan Demak sebagai pelabuhan utama, namun akibat konflik politik, komoditas yang berasal dari daerah sekitar Selat Muria (Pulau Muria dan Pegunungan Kendeng) bergeser ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Selain itu, sebuah laporan pada tahun 1657 menyatakan bahwa endapan fluvial dari sungai-sungai yang bermuara di Selat Muria seperti Sungai Serang, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi mengakibatkan pendangkalan sehingga selat tersebut tidak dapat dilalui kapal-kapal besar. Pusat perdagangan pun dipindahkan ke Jepara. Karena pendangkalan ini, Tumenggung Natairnawa dari Pati memerintahkan untuk menggali endapan di selat tersebut, namun endapan tersebut semakin lama semakin cepat menutup Selat Muria. Pada masa-masa terakhir keberadaan Selat Muria terdapat sebuah saluran air yang dapat dilalui oleh perahu-perahu kecil yang sekarang disebut Kalilondo.

Kondisi Saat ini

Sisa dari Selat Muria dapat dilihat dari sebuah sungai bernama Kalilondo yang membentang dari Juwana di sebelah timur hingga Ketanjung di sebelah barat. Beberapa sungai juga terbentuk dari bekas Selat Muria seperti Sungai Silugunggo yang melintasi wilayah Kabupaten Pati. Di daerah ini sering ditemukan bangkai-bangkai perahu, kapal, dan meriam yang menjadi bukti adanya selat di daerah ini.

Selain itu, daerah yang dulunya merupakan Selat Muria ini sering dilanda banjir saat musim hujan.

Sejak Kapan Selat Muria Lenyap dan Menyatu dengan Pulau Jawa?

Gunung Muria bisa dianggap sebagai gunung paling utara di Pulau Jawa. Hanya, kamu pernah membayangkan nggak kalau di zaman dulu, gunung ini terpisah dari Pulau Jawa? Jadi, dulu ada Selat Muria yang membatasi Jawa dengan gunung ini. Lantas, kapan Selat Muria lenyap sehingga membuat Jawa dan Gunung Muria menyatu, ya?

Hingga abad ke-16, sejumlah catatan sejarah menulis tentang keberadaan Selat Muria. Lokasi selat ini bisa kamu temukan di dekat Kota Demak, Kudus, dan Pati di masa kini. Jadi, kamu bisa membayangkan nggak kalau dulu, Demak kota itu ada di pesisir Selat Muria? Bahkan, Raden Patah dulu kabarnya berlayar ke timur untuk menuju Kudus, Pati, hingga Rembang lewat selat ini, bukannya lewat jalur Pantura yang sebenarnya ada di atasnya.

Baca juga: https://www.puskompati.org/kisah-adipati-pragolo-tokoh-dan-sejarah-kabupaten-pati/

Hanya, sejak akhir abad ke-16, sedimentasi di Selat Muria sudah sangat parah sehingga membuat selat ini jadi semakin dangkal. Bahkan, di musim kemarau, bisa dikatakan selat ini mengering sehingga membuat Gunung Muria seperti bersatu dengan Jawa.

Pakar geologi Awang Satyana menyebut banyak sungai yang ada di Zona Kendeng dan Zona Rembang yang bermuara di Selat Muria. Nah, sungai-sungai ini membawa banyak endapan yang akhirnya memicu sedimentasi ke Selat Muria. Hal yang sama juga berlaku pada sungai-sungai yang berhulu di Gunung Muria.

Pada abad ke-16, tepatnya saat Kerajaan Demak Berjaya, selat ini membuat Pelabuhan Demak ramai jadi pusat perdagangan. Pemerintahan Ratu Kalinyamat juga memaksimalkan kondisi yang sama di masa itu. Namun, semua berakhir pada awal abad ke 17.

Saat itu, Selat Muria hanya tergenang jika ada air pasang. Bahkan, lambat laun, sedimentasi yang terus terjadi membuat endapan di selat semakin tebal dan pada akhirnya menjadi lebih tinggi dengan laut hingga sekarang.

Gara-gara hal ini, Kerajaan Demak langsung mengalami kemunduran karena pelabuhan yang jadi sendi utama ekonominya praktis nggak bisa lagi beroperasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *